Langsung ke konten utama

Postingan

Memilih peran goblok.

Pagi buta banyak kata mulut tak terbuka.  Mengenang, katanya, menjadi hal yang menyenangkan antara pukul 5 sehabis subuh sampai 6 sebelum beraktivitas.  Mengenang apa yang ingin dikenang, ataupun mengenang apa yang teringat untuk dikenang.  Sayangnya, kenangan jarang memberi timbal balik berupa jawaban dari pertanyaan "seharusnya, aku bagaimana?".  Kenangan akan jadi berbagai macam, sifatnya seperti air, selalu akan bermuara, sialnya kita sang penikmat patah hati selalu jadi pantai yang menyaksikan ia lewat, setiap harinya.  Lalu dari patah hati yang belum ketemu jawabannya tentang kenapa, kita masih saja menikmati delusi tersebut.  Terbuai, lupa akan kehidupan.  Senyuman bertebaran dan ditebar dimana-mana, hasil dari sandiwara perasaan dan raga yang bertolak belakang, yang satu masih sayang satunya berpura-pura melepaskan.  Terkadang, jiwa meminta doa agar raga diberi kesibukan.  Supaya pikiran terus bekerja memikirkan hal la...

Jalan Buntu. Bagian 3 : Aduh!!

Saya rasa, perlu banyak sentuhan untuk Ibukota.  Tempat ini kurang romantis bagi pejalan kaki, jadinya, sang ahli harus mengeluarkan jurusnya agar terlihat menarik di depan perempuan yang dia suka.  Mungkin dengan mendorong kecil agar ia jengkel lalu membalasnya.  Atau, membahas apa saja, dari yang penting sampai tak penting, sampai haus, biar saja.  Habisnya, dekorasi kota ini kurang menarik untuk dijadikan bahan obrolan. "Kayaknya kita terlambat deh kak." Ucapnya pesimis mengenai acara yang akan dihadiri.  Yap, malam ini mungkin ada 2 band yang akan tampil, namun Stars and Rabbit tampil pertama. "Iyaa, saya sih pake main bola segala tadi sore, jadinya telat nih." Aku menyalahkan diriku sendiri. "Gapapa kak." Sebagai laki-laki yang menganggap selera humornya tinggi, setidaknya aku harus membuatnya tertawa.  Tetapi, isi kepala buyar, terlebih saat melihat senyumnya.  Tak ada satupun lawakan lucu yang teringat dikepala, atau kutipan-kutipan yan...

Jalan Buntu. Bagian 2 : Semestinya.

Aku suka sesuatu yang jarang disuka.  Ketika orang sedang beramai-ramai memilih kopi, aku teh saja.  Ketika orang-orang memilih lagu berdasarkan yang sedang trend, aku yang biasa-biasa saja.  Bukan karena ingin terlihat berbeda, lebih tepatnya tidak ingin terlihat sama.  Itu beda.  Ketika aku bertemu dengan satu perempuan yang mungkin disukai banyak pria, aku tak ingin bersaing, biar saja peruntungan ku yang berkata atau kesialan perempuan itu yang membuat ia bertemu denganku.  Mengapa sial? Tidak tau, aku merasa; mungkin saja tiap pertemuan yang aku alami selalu jadi kesialan bagi yang bertemu denganku.  Dasar tukang mengira. Oh,ya aku ingin cerita tentang satu perempuan, yang pada saat bertemu dengannya, cara pandangku tentang peruntungan berubah.  Ia yang mengenalkanku pada hal bernama ''mimpi' lebih daripada umumnya.  Aku ingat betul, ia berkata "mimpi itu tak usah dibicarakan, soalnya belum tercapai, nanti malu sendiri kalau tidak ter...

Jalan buntu. Bagian 1 : Hatiku rumah, entah untuk siapa.

Telah rapih hati yang sempat diporakporandakan seseorang, dinding yang telah dilukis dari nasihat tiap hati yang pulang pergi, mempunyai banyak warna.  Lalu beberapa medali terpampang, pembuktian kini aku bukan kekanak-kanakan.  Pagar halamannya terbuat dari cacian; tajam.  Didepan pintu terdapat keset warna putih, agar diketahui kaki-kaki yang dengan sengaja mengotori lantai.  Lalu setelah beberapa kejadian, hatiku aku kunci rapat-rapat.  Entahlah, mungkin aku marah, atau mungkin aku bingung, atau mungkin aku malas membiarkan siapapun masuk sebelum dindingnya penuh dengan medali.  Mengapa begitu? Mungkin agar kelak yang masuk senang melihat medalinya dan tak memporak-porandakan isinya hanya karena bosan.  Kalau itu terjadi, berdebulah kembali hati ini karena dikunci kembali rapat-rapat.  Terkadang aku tak bisa mengendalikan diri, beberapa orang yang merawat hatiku dengan baik malah aku suruh pergi.  Aku seperti orang jahat.  Padahal...

Tertanam dalam hati segala terimakasih.

Aku percaya sesuatu yang berawal harus ada akhirnya.  Seperti hari, diawali fajar diakhiri senja.  Hujan, diawali rintik diakhiri reda.  Manusia, terlahirkan dan dikebumikan.  Semua sudah seharusnya begitu.  Seperti pula tahun, Januari akan kembali menemui tanggal 1 walaupun melewatkan Desember terlebih dahulu sebagai akhir.  Jadi tak perlu takut berakhir, karena sesuatu yang berakhir akan dimulai kembali walau dengan hal yang berbeda.  Pagi, 1 Januari yang kesekian, aku masih menghirup udara penyesalan mengenai resolusi yang hanya jadi bualan.  Sudah cukup, harapan ditiap pergantian tahun hanya menyajikan khayalan.  Mungkin cukup mengalir seperti air adalah bagaimana harusnya, diselingi tebaran tawa dan manfaat yang dirasa banyak manusia.  Seperti itu saja, cukup.  Mimpi-mimpi lainnya genggam erat, tak perlu tiap tahun berharap.  Lakukan yang terhebat, sampai tangan mulai kosong tak menggenggam mimpi, karena perlahan semuany...

Pria tak ber-indera

Ia adalah pria yang tak mempunyai indera.  Matanya terpejam untuk perjuangan yang harusnya ia lihat dengan seksama, mengabaikan lelah penantian sang perempuan berhati gulali, matanya mampu melihat ketika sesuatu yang ia anggap benar ada di depannya.  Haha, bego. Lalu telinganya hanya untuk mendengarkan ocehannya sendiri.  Nasihat baik perempuan berhati gulali hanya menjadi seperti kendaraan yang tak punya tujuan, lalu-lalang tak disimak oleh pendengar.  Haha, tolol. Hidungnya adalah bagian paling tidak egois, karena ia masih mau menghirup aroma parfum yang sebenarnya ia tak suka.  Kulitnya parah, ia menggenggam jemari perempuan itu, lalu melepasnya dengan alasan yang sangat kekanak-kanakan.  Kalaupun ia keriput nanti, mungkin sikapnya akan sama saja.  Haha, dongo.  Lidahnya adalah bagian paling kejam.  Ia tak pernah mencicip secara bersama makanan kesukaan perempuan berhati gulali.  Bahkan tak pernah.  Lalu dengan santainya ia ...

Judi

Terbang, Aku terbang. Simpul rapih sulit terbuka kini tak ada Tak lagi terkunci dalam sebuah kenang Terhempas kebebasan heran akan kenyataan Aku kira sayapku akan mengepak sesuai keinginanku, ternyata ia lebih suka terjebak dalam rindu.  Kancing kemejaku tak sesuai dengan lubangnya, ah mungkin saja aku kaget dengan ketiadaan nya.  Beberapa roti terlambat ditelan, Kegiatanku selalu dari lampu belum menyala hingga ia dipadamkan.  Tidak, Aku tidak terbang.  Aku hanya bodoh, Ingin terhempas angin, namun kehilangan cahaya.  Hai engkau, hunus saja aku dengan rindu.  Aku bingung dengan rambutku yang mulai acak-acakan.  Ternyata kamu, Kamu "terbang" ku.  Kamu "tepat waktu menelan roti" ku. Kamu "kancing kemeja tepat lubangnya" ku. Kamu "rambut tertata" ku.  Kini aku, Tertusuk.  Oleh "ku"