Telah rapih hati yang sempat diporakporandakan seseorang, dinding yang telah dilukis dari nasihat tiap hati yang pulang pergi, mempunyai banyak warna. Lalu beberapa medali terpampang, pembuktian kini aku bukan kekanak-kanakan. Pagar halamannya terbuat dari cacian; tajam. Didepan pintu terdapat keset warna putih, agar diketahui kaki-kaki yang dengan sengaja mengotori lantai. Lalu setelah beberapa kejadian, hatiku aku kunci rapat-rapat. Entahlah, mungkin aku marah, atau mungkin aku bingung, atau mungkin aku malas membiarkan siapapun masuk sebelum dindingnya penuh dengan medali. Mengapa begitu? Mungkin agar kelak yang masuk senang melihat medalinya dan tak memporak-porandakan isinya hanya karena bosan. Kalau itu terjadi, berdebulah kembali hati ini karena dikunci kembali rapat-rapat.
Terkadang aku tak bisa mengendalikan diri, beberapa orang yang merawat hatiku dengan baik malah aku suruh pergi. Aku seperti orang jahat. Padahal aku hanya takut semua kembali 'porak-poranda'. Mungkin semua 'porak-poranda' sebelumnya membuatku takut. Bodoh sekali!.
"Bang batagor satu." Aku memesan yang ingin ku pesan.
"Manis ya." Penjual tersebut bergurau.
"Mana ada batagor manis bang."
"Bukan, itu tuh cewek yang mau jalan ke arah sini. Manis."
Aku menoleh dan melihat dengan betul-betul, lalu perempuan tersebut berdiri persis disampingku sembari memesan Batagor.
"Iya, manis bang." Ucapku pada penjual batagor.
"Tadi katanya ga ada batagor yang manis." Abang tersebut tertawa kecil mendengar perkataanku.
"Satu ya bang." Perempuan itu memesan sesuatu yang sama denganku. Apa mungkin dia suka denganku? Ah memang ini kan penjual batagor, sudah pasti yang dipesan batagor. Terlalu percaya diri aku ini. Atlet angkat besi pun kalo kesini pasti pesan batagor juga. Tapi gamungkin atlet makan batagor.
Perempuan tersebut lebih dulu mendapat pesanannya, padahal aku yang memesan lebih dulu.
"Bang kok dia duluan??"
"Sekarang gini. Lu kalo jadi gue, pasti layanin yang model begitu dulu kan?." Pembelaan yang penjual ini lakukan tak masuk akal.
"Yaudah terserah deh, buruan bikinin laper nih."
Lalu datang pria berotot dengan memakai kaus ketekan seakan-akan memamerkan badannya yang benjol karena berotot.
"Satu bang!." Pria itu memesan dengan suara super ngebass dan jantan sekali.
Ah, masa iya atlet makan batagor?
"Emang kenapa atlet makan batagor?". Protesnya. Lah, saya kan ngomong dalem hati tadi, ini dia sakti banget.
"Hati lo kosong soalnya, jadi kalo ngomong dalem hati bergema kedengeran sampe keluar." Teori yang super ngaco dijelaskan atlet itu. Lalu ia pergi.
"Bang kok dia lagi yang dilayanin duluan?"
"Eh, dia mesennya sambil megang kerah baju gue. Gimana gak jiper gue."
"Yaudah buruan!."
Sore hari sepulang latihan, batagor ternyata penunda lapar yang pas, bukan jelly drink punya oki. Munafik sekali aku, bilang atlet gaboleh makan batagor, aku sendiri kan atlet. Aneh.
Earphone sudah terpasang, kini tinggal memilih lagu untuk menemani perjalanan pulang. Lagu Adrian Martadinata yang berjudul 'behind the star' menjadi pilihan yang tepat sembari menggowes sepeda menuju rumah.
To be continued...
Komentar
Posting Komentar