Pagi buta banyak kata mulut tak terbuka. Mengenang, katanya, menjadi hal yang menyenangkan antara pukul 5 sehabis subuh sampai 6 sebelum beraktivitas. Mengenang apa yang ingin dikenang, ataupun mengenang apa yang teringat untuk dikenang. Sayangnya, kenangan jarang memberi timbal balik berupa jawaban dari pertanyaan "seharusnya, aku bagaimana?". Kenangan akan jadi berbagai macam, sifatnya seperti air, selalu akan bermuara, sialnya kita sang penikmat patah hati selalu jadi pantai yang menyaksikan ia lewat, setiap harinya.
Lalu dari patah hati yang belum ketemu jawabannya tentang kenapa, kita masih saja menikmati delusi tersebut. Terbuai, lupa akan kehidupan. Senyuman bertebaran dan ditebar dimana-mana, hasil dari sandiwara perasaan dan raga yang bertolak belakang, yang satu masih sayang satunya berpura-pura melepaskan.
Terkadang, jiwa meminta doa agar raga diberi kesibukan. Supaya pikiran terus bekerja memikirkan hal lain selain pulang pada peluknya. Sialnya, tidur jadi setan yang malah memunculkan senyumnya ketika raga, perasaan, dan pikiran sedang istirahat. Mungkin ini alasan kantung mata ini mulai menghitam, sebagai cara menunda patah hati berkelanjutan dengan bertemu sang idaman dalam mimpi.
Akhir dari pagi ini adalah raga, pikiran, perasaan, kantung mata yang hitam, serta waktu tertawa bersama melihat aku mempekerjakan mereka secara bersamaan. Padahal untuk hal yang sama; senyumnya.
Salah Kaprah
Komentar
Posting Komentar