Langsung ke konten utama

Postingan

kaki-kaki kecil

kita tumbuh diantara kepadatan yang kita inginkan dan mencoba menjadi hal lain untuk sementara waktu agar bisa memahami hal lain pula dari persepsi yang dibangun dari pikiran yang sehat kemudian selalu menyimpan harapan agar mampu menjaga sesuatu yang tidak ingin sekali kehilangan apa-apa yang belum mampu dijaga saat ini saat ini kaki ini ditarik kearah berlawanan oleh pikiran yang merasa paling normal  dan  hati yang selalu merasa terpojokkan ekspresi dijadikan tameng untuk  menipu dunia tentang apa-apa yang sebenarnya sedang dirasa Jakarta 2019

Aku sedang sayang sama kamu

Hai, Rasanya, tak terasa.  Tak tau terasa atau tidak.  Aku bingung sendiri dengan pernyataan barusan.  Tapi, yang ingin ku katakan, terasa sekali perubahan yang ada pada diriku sekarang.  Setelah bertemu denganmu.  Yang tidak terasa itu waktu.  Satu tahun lalu tepatnya, aku menyatakan cinta padamu.  Lalu kini hatiku sudah benar-benar mantap padamu.  Walaupun aku belum mengetahui bagaimana hatimu.  Beberapa terjal aku lewati dengan kebodohan, hingga membuat hatimu padaku tak lagi menimbulkan kesan.  Sepertinya.  Tapi tak apa, aku merasa, bersama terus denganmu akan membuatku jadi lebih baik.  Jadi pribadi yang nantinya akan aku butuhkan. Walaupun aku belum tau pada siapa hatimu tertuju.  Aku sudah mantap denganmu.  Walau pada akhirnya bukan aku yang kau pilih, setidaknya aku ingin terus berada disampingmu sampai nantinya kau putuskan untuk menaruh hatimu untuk siapa.  Aku sayang sama kamu, dan arti sayang yan...

Setelah kemarau panjang

Pertengahan Juli, mendung mulai terlihat dan rintik hujan mulai turun bersama dengan keluh kesah penikmat cuaca panas.  Atau mungkin lebih tepatnya penikmat keluh kesah, karena mereka tidak pernah benar-benar menikmati sesuatu, hanya mengeluhkan sesuatu.  Hujan menjadi harapan bagi orang yang merindukan kesejukan, apalagi ibukota sering kali dinobatkan sebagai kota dengan polusi terbanyak.  Sial.  Tepat satu tahun lalu, aku merasakan sebagai pengharap hujan dan kau sebagai yang diharapkan.  Polusi dan kebisingan yang aku terima hilang.  Senyuman yang begitu berbeda menjadi petir, terkaget aku dibuatnya.  Tapi begitulah, setelah kemarau panjang, senyummu jadi satu-satunya kaget yang aku nantikan.  Berbekal obat penurun panas, aku memberanikan diri menyentuh hujan, atau dirimu, langsung, ke kulit, meresap apa yang terserap, mengikat apa yang memikat.  Panas dingin aku dibuatnya, siapa lagi kalau bukan olehmu.  Kulitku kaget, terbiasa terk...

Memilih peran goblok.

Pagi buta banyak kata mulut tak terbuka.  Mengenang, katanya, menjadi hal yang menyenangkan antara pukul 5 sehabis subuh sampai 6 sebelum beraktivitas.  Mengenang apa yang ingin dikenang, ataupun mengenang apa yang teringat untuk dikenang.  Sayangnya, kenangan jarang memberi timbal balik berupa jawaban dari pertanyaan "seharusnya, aku bagaimana?".  Kenangan akan jadi berbagai macam, sifatnya seperti air, selalu akan bermuara, sialnya kita sang penikmat patah hati selalu jadi pantai yang menyaksikan ia lewat, setiap harinya.  Lalu dari patah hati yang belum ketemu jawabannya tentang kenapa, kita masih saja menikmati delusi tersebut.  Terbuai, lupa akan kehidupan.  Senyuman bertebaran dan ditebar dimana-mana, hasil dari sandiwara perasaan dan raga yang bertolak belakang, yang satu masih sayang satunya berpura-pura melepaskan.  Terkadang, jiwa meminta doa agar raga diberi kesibukan.  Supaya pikiran terus bekerja memikirkan hal la...

Jalan Buntu. Bagian 3 : Aduh!!

Saya rasa, perlu banyak sentuhan untuk Ibukota.  Tempat ini kurang romantis bagi pejalan kaki, jadinya, sang ahli harus mengeluarkan jurusnya agar terlihat menarik di depan perempuan yang dia suka.  Mungkin dengan mendorong kecil agar ia jengkel lalu membalasnya.  Atau, membahas apa saja, dari yang penting sampai tak penting, sampai haus, biar saja.  Habisnya, dekorasi kota ini kurang menarik untuk dijadikan bahan obrolan. "Kayaknya kita terlambat deh kak." Ucapnya pesimis mengenai acara yang akan dihadiri.  Yap, malam ini mungkin ada 2 band yang akan tampil, namun Stars and Rabbit tampil pertama. "Iyaa, saya sih pake main bola segala tadi sore, jadinya telat nih." Aku menyalahkan diriku sendiri. "Gapapa kak." Sebagai laki-laki yang menganggap selera humornya tinggi, setidaknya aku harus membuatnya tertawa.  Tetapi, isi kepala buyar, terlebih saat melihat senyumnya.  Tak ada satupun lawakan lucu yang teringat dikepala, atau kutipan-kutipan yan...

Jalan Buntu. Bagian 2 : Semestinya.

Aku suka sesuatu yang jarang disuka.  Ketika orang sedang beramai-ramai memilih kopi, aku teh saja.  Ketika orang-orang memilih lagu berdasarkan yang sedang trend, aku yang biasa-biasa saja.  Bukan karena ingin terlihat berbeda, lebih tepatnya tidak ingin terlihat sama.  Itu beda.  Ketika aku bertemu dengan satu perempuan yang mungkin disukai banyak pria, aku tak ingin bersaing, biar saja peruntungan ku yang berkata atau kesialan perempuan itu yang membuat ia bertemu denganku.  Mengapa sial? Tidak tau, aku merasa; mungkin saja tiap pertemuan yang aku alami selalu jadi kesialan bagi yang bertemu denganku.  Dasar tukang mengira. Oh,ya aku ingin cerita tentang satu perempuan, yang pada saat bertemu dengannya, cara pandangku tentang peruntungan berubah.  Ia yang mengenalkanku pada hal bernama ''mimpi' lebih daripada umumnya.  Aku ingat betul, ia berkata "mimpi itu tak usah dibicarakan, soalnya belum tercapai, nanti malu sendiri kalau tidak ter...

Jalan buntu. Bagian 1 : Hatiku rumah, entah untuk siapa.

Telah rapih hati yang sempat diporakporandakan seseorang, dinding yang telah dilukis dari nasihat tiap hati yang pulang pergi, mempunyai banyak warna.  Lalu beberapa medali terpampang, pembuktian kini aku bukan kekanak-kanakan.  Pagar halamannya terbuat dari cacian; tajam.  Didepan pintu terdapat keset warna putih, agar diketahui kaki-kaki yang dengan sengaja mengotori lantai.  Lalu setelah beberapa kejadian, hatiku aku kunci rapat-rapat.  Entahlah, mungkin aku marah, atau mungkin aku bingung, atau mungkin aku malas membiarkan siapapun masuk sebelum dindingnya penuh dengan medali.  Mengapa begitu? Mungkin agar kelak yang masuk senang melihat medalinya dan tak memporak-porandakan isinya hanya karena bosan.  Kalau itu terjadi, berdebulah kembali hati ini karena dikunci kembali rapat-rapat.  Terkadang aku tak bisa mengendalikan diri, beberapa orang yang merawat hatiku dengan baik malah aku suruh pergi.  Aku seperti orang jahat.  Padahal...