Pertengahan Juli, mendung mulai terlihat dan rintik hujan mulai turun bersama dengan keluh kesah penikmat cuaca panas. Atau mungkin lebih tepatnya penikmat keluh kesah, karena mereka tidak pernah benar-benar menikmati sesuatu, hanya mengeluhkan sesuatu. Hujan menjadi harapan bagi orang yang merindukan kesejukan, apalagi ibukota sering kali dinobatkan sebagai kota dengan polusi terbanyak. Sial.
Tepat satu tahun lalu, aku merasakan sebagai pengharap hujan dan kau sebagai yang diharapkan. Polusi dan kebisingan yang aku terima hilang. Senyuman yang begitu berbeda menjadi petir, terkaget aku dibuatnya. Tapi begitulah, setelah kemarau panjang, senyummu jadi satu-satunya kaget yang aku nantikan. Berbekal obat penurun panas, aku memberanikan diri menyentuh hujan, atau dirimu, langsung, ke kulit, meresap apa yang terserap, mengikat apa yang memikat. Panas dingin aku dibuatnya, siapa lagi kalau bukan olehmu. Kulitku kaget, terbiasa terkena polusi, dan hadirmu yang menyerupai hujan membuatnya senang sekaligus hilang kendali. Yang masih bisa aku kendalikan hanya hatiku, aku kendalikan agar ia mengarah padamu.
Aku rasa jatuh cinta padamu adalah pelepas dahaga setelah tertimpa kemarau panjang. Aku senang. Bahkan ingin sekali selalu berada dalam situasi seperti ini. Hujan.
Kemudian kau benar-benar menjadi seperti hujan. Aku tak kuat menampung semuanya, semua cantikmu. Hingga ia mengalir kembali ke laut, tempat dimana kecantikanmu teramat sangat.
Disini aku kembali mengalami kemarau panjang, menunggumu kembali. Turun dari atas dengan segala kedahsyatan. Petir, rintik, semuanya. Atau kau punya sesuatu yang baru setelah kemarau panjangku yang ini. Aku sangat tunggu. Aku tunggu. Karena setelah diperkenalkan langsung padamu, aku jadi suka hujan yang terjun langsung terkena kulitku. Lebih tepatnya aku rindu kamu.
Komentar
Posting Komentar