Sang Pemimpi berdiam didepan kaca menunggu saya bercerita, namun masih engga bertegur sapa dengannya. Habisnya, ia seperti diriku namun dalam wujud yang lebih dewasa. Aku jadi malas dengannya.
"Kau kenapa?" Tanya Sang Pemimpi dari dalam kaca.
"Tak apa. Dirimu begitu sok tau." Jawabku ketus.
"Hey bung, aku ini kau dalam wujud yang lebih dewasa."
"Sudahlah berbohongnya! Aku tak percaya."
"Kalau begitu cerita bagaimana perempuanmu !! Tak adil jika hanya aku yang bercerita tentang Tuan Putri."
"Aku bingung, kau mau aku mulai dari mana?"
"Saat ia pergi."
"Mengapa bagian itu?"
"Saya tahu itu penyebab dirimu pesimis terhadap apapun." Sang Pemimpi membuatku diam dengan pernyataannya yang sangat benar.
"Baiklah, ia pergi. Lalu saya hanya tanya kenapa, jawabannya selalu menyalahkanku. Entah, mungkin memang ia belum menemukan alasan lain agar saya terlihat jahat.". Jawabku.
"Setelah itu?"
"Setelah itu, ia bahagia."
"Tau dari mana kau bodoh?". Pertanyaan yang seenaknya kok bisa ia lontarkan.
"Tau dari linimasa miliknya, fotonya selalu bahagia. Bersama pria barunya tentunya."
"Kalau begitu, kau buat juga linimasa milikmu terlihat bahagia! Bodoh kok dipelihara. Ayam dipelihara biar gede.". Benar juga apa kata Sang Pemimpi.
"Tapi aku tak pandai bersandiwara."
"Bodoh! Siapa yang menyuruhmu bersandiwara, aku menyuruh mu benar-benar bahagia, lalu kau pamerkan dilinimasa milikmu. Begitu saja susah.". Tuh kan, lagi-lagi ia sok tau.
"Tau apa kau pecundang? Bicara saja bisanya.". Emosiku mulai membara.
"Hey bung! Tuan Putri memamerkan prianya langsung didepan mataku, bukan lewat teknologi macam kau. Jadi yang pecundang siapa? Sudah nurut saja apa kataku."
"Baik akan kucoba. Apa saja tadi?"
"Haduh, bodoh sekali. Pertama kau bahagia! Lalu kau pamer! Buat ia tak melebihi bahagia mu!"
"Mengapa jahat?".
"Terlalu baik akan membuatmu terinjak!"
"Baiklah, pertama aku harus bahagia."
Komentar
Posting Komentar