Sudah 52 bulan semenjak aku pertama kali Jatuh pada cinta pertama. Sosok yang sedari dulu mampu mengubah cara pandangku terhadap dunia. Kini tiap pagi adalah waktu yang pas untuk menceritakan kembali tentang sosok tersebut. Merangkap rindu, mengubahnya menjadi karya. Karna aku percaya luka darimu adalah keliru yang indahnya kau sengaja.
2 tahun semenjak kepergianmu aku masih menari dengan kesendirian. Mencari-cari tempat terbaik untuk menghapus resah. Tentu 2 tahun tak mungkin tak bertemu. Karna logo sekolah yang dikenakan masih sama, aku dan kamu masih sering berpapasan menggores luka. Dalam suatu kesempatan kita diberi ruang, untuk saling kembali berkisah. Sore itu disamping lapangan kau tersenyum kembali, melihatku berkeringat sehabis menghapus resah. Langkahku menghampirimu, senyummu masih saja buatku luluh. Kau berkisah tentang hidupmu, bahwa kau sedang bahagia karna berat badanmu menjadi ideal. Entahlah, bagiku kau selalu indah. Aku pun berkisah tentang banyak hal, terutama semenjak ditinggalkanmu. Tiap duka kau alihkan dengan bahagiamu. Aku tak keberatan kembali menjadi telingamu, atau peluk pun aku masih kepadamu. Tetapi kerut wajahmu seperti tak bersedia mendengarkanku, sudimu kau simpan bukan untukku. Lalu matahari tenggelam begitu saja ditengah perbincangan satu arah ini. Bangku yang desainnya cocok untuk aku menatapmu menjadi tumpuan 2 hati berbeda. Ada yang ingin merekatkan kembali kepada hati yang ingin mematahkan kembali.
Rona jingga hilang berganti gelap yang selalu kunanti. Karna bagiku malam adalah waktu yang tepat untuk melukis senyummu.
Malam itu aku dan kamu masih mengenakan seragam SMA dan masih berada disekolah. Tentu karna ada acara. Aku tawarkan ajakan jalan kaki sembari mencari makan, padamu yang kulihat sudah mulai lemas tak berdaya. Martabak manis beserta susu masih tak bisa mengalahkan indah lengkung bibirmu. Entahlah kamu yang sedang cantik-cantiknya atau aku yang sedang rindu-rindunya. Kau yang makan banyak kenapa aku yang begitu kenyang? Ah mungkin rindu darimu terlalu banyak aku lahap habis.
Setelah itu, kembali aku bercerita kepada kau tentangku selama kau tinggalkan. Kelopak mataku yang mulai menghitam, karna terlalu kerasnya aku untuk tak mau memejamkan mata. Karna tidur adalah waktu dimana kau selalu muncul, dan bangun adalah tamparan keras bahwa nyatanya hatimu bukan untukku lagi. Aku tatap dirimu kala itu. Berusaha menenangkan diri agar tenang saat meluapkan segala ingin, padamu yang sudah lama pergi. "Balikan yuk?" Ajakku. Kau terdiam. Bibirmu tak mengucap namun rautmu memberi penolakan.
Kau tenggelamkan aku dalam-dalam. Kedasar danau impian, lalu kau duduk dipinggirnya. Bersamaan dengan itu, kau berkelit dibalik alasan. Bahwa dirimu belum siap untuk menerima siapapun. Aku tertipu oleh angan. Penolakanmu kau anggap kemenangan. Aku kalah dalam hal berhenti peduli. Kau kalah dalam hal berhenti menyakiti.
Selama ini aku sadar, bahwa dirimu hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk kembali mematahkan. Terima kasih untukmu. Rautmu malam itu aku ingat sebagai henti dari meraihmu. Dirimu terlalu tinggi, dan aku sudah enggan melompat. Maka jangan segan untuk melihatku, kini aku sudah jauh meninggalkanmu.
Aku harap sesekali kau mengunjungi tulisanku. Tak apa kau merasa besar kepala karna merasa dicintai dengan sangat. Toh hatiku sudah kebal dengan namamu. Karna kini hadirmu bukan lagi yang kunantikan.
Komentar
Posting Komentar