Kejadian menjelang akhir 2016 ini kembali kuceritakan. Tentang seorang perempuan lugu namun mempunyai sejuta kecantikan dalam dirinya. Sosok yang bahkan lebih dewasa dibanding aku.
Berawal dari laci labolatorium komputer tempatnya belajar, ia menaruh peralatan sekolahnya dilaci tersebut. Aku harus menggunakan komputer waktu itu, jadi haru ke labolatorium.
Entah hukum alam apa yang tak sengaja membuatku duduk ditempat dimana perempuan tersebut duduk. Lacinya kubuka, terdapat sebuah buku yang menarik untuk dibaca namun ada kertas kecil diatas buku yang bertulis "tolong untuk tidak mengacak-acak laci ini" kurang lebih seperti itu, maaf jika tak seperti seharusnya. Karna aku pun lupa secara rinci, mungkin yang kuingat hanya lucunya kamu ketika didepanku.
Dengan lancang kubaca buku itu dan menaruhnya kembali.
Beberapa hari kemudian aku bertemu dengannya, dengan senyum yang lugu ia berjalan kearahku.
"Eh, makasih ya bukunya bagus."
"Kakak yang baca buku dilaci?"
"Iyaa."
"Mana bukunya? Kok ga ada dilaci?"
"Serius? Kakak udah taro lagi kok di laci."
Tak tau harus berbuat apa, akhirnya aku mendatangi kelas yang memakai lab setelag kelasku. Dan tak ada hasil.
Merasa tak enak aku pun berjanji akan menggantinya dengan buku yang baru.
Seminggu setelah itu, aku kembali menempati lab. Kubuka kembali laci tersebut, tak ada buku. Yang ada hanya sepotong kertas kecil dengan sebuah pesan
"Kak, bukunya kapan mau diganti? Itu buku aku gak beli loh, itu dapet. Jadinya nyari ditoko buku pasti susah."
Ku sobek kertas
"Iya, nanti diganti. Semoga aja ada."
Entah sudah pesan keberapa, setiap kali aku kembali ke lab. Selalu ada pesan didalam laci dan selalu aku balas.
Hari dimana aku menjanjikan mengganti bukunya pun tiba. Kuajak ia mencari buku itu bersamaku.
"Kak cepet ya nyari bukunya, aku gak boleh pulang maghrib."
"Iya."
Sembari mengelilingi rak buku, aku sesekali berdebat dengannya tentang dunia. Caranya berbicara, caranya tersenyum, caranya memandang dunia. Entah, seketika aku jatuh hati. Pada sosok perempuan lugu.
Perjanjian tak pulang maghrib pun kami ingkari, dengan asyik nya kami bercanda. Sampai lupa buku mana yang ingin dipilih. Sampai pada akhirnya ia memilih satu buku misteri. Dan pulang.
Aku kembali dibuat pusing, oleh siapa lagi kalau bukan perempuan.
Perjumpaanku dengannya disekolah pun tak jarang diselingi dengan senyum dan sapaan.
Aku yang masih belum sepenuhnya pulih dari luka masa lalu seperti ragu mendekati perempuan ini. Ia begitu lugu. Sedangkan aku seperti memegang pisau yang siap menusuknya.
Aku memilih mundur waktu itu, tak mendekatinya lagi.
Tahun ini lulusku membuatku tak akan menyapamu sama sekali.
Untukmu teman dalam laci.
Aku hanya ingin kau tahu satu hal sebelum aku pergi,
Bahwa sempat dekat denganmu adalah hal indah yang jarang dalam hidupku.
Jakarta.
Teman dalam laci.
ahhh kakak meelting ;( ayodong photo sebelum pisah sama temen lacinya :(
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus